Berbicara mengenai pemimpin dan kepemimpinan tidak ada habisnya. Alasan ini masuk akal karena pemimpin dan kepemimpinan bagian dari model atau gaya (style) orang itu memimpin. Setiap pemimpin hadir dengan gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh sebab itu, sungguh wajar bila setiap pergantian pemimpin akan selalu ada perubahan, baik itu perubahan sebagai pengembangan apa yang sudah ada maupun perubahan secara total. Dari berbagai model kepemimpinan yang ada kini, ada salah satu model yang cukup terkenal yaitu Servant Leadership.
Apa yang muncul dalam benak setiap orang jika mendengar kata Pemimpin sebagai Pelayan? Dua kata tersebut merupakan dua entitas yang paradoks. Kata pemimpin (leader) seyogianya sebagai orang yang memimpin di mana menempati posisi penting dan paling tertinggi, bukan malah sebaliknya sebagai pelayan (servant) yang kerap kali berada di posisi paling bawah dan kurang mendapat perhatian. Meskipun kata pemimpin dan pelayan adalah dua hal yang paradoks, Larry Spears menandaskan bahwa hal itu memperlihatkan karya kreatif dari model kepemimpinan ini yaitu pemimpin yang mau melayani (Spears dalam Spears dan Lawrence, 2002: 2).
Kepemimpinan yang melayani (servant leadership) merupakan model kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert K. Greenleaf. Ia mengembangkan idenya ini sejak 1970-an dan sejak saat itu mengalami proses panjang melalaui berbagai diskusi yang dilakukannya. Model kepemimpinan ini memiliki seni memimpin dengan melayani anggotanya dengan keterampilan yang dimiliki pemimpin tersebut (Crowther, 2018: 1-2).
Berdasarkan penuturan Robert Greenleaf sendiri, servant leadership yang digagasinya ini terjadi ketika orang tersebut memiliki kerinduan hati secara alami ingin melayani. Dari sanalah kemudian akan tergerak hati untuk memimpin sebagai bentuk pelayanan itu sendiri (Greenleaf dalam Spears dan Lawrence, 2002: 23). Hal ini berbeda dengan para pemimpin kebanyakan, di mana setelah ia menjadi pemimpin barulah mereka mengidentifikasi dirinya sebagai pelayan.
Ada hal menarik lainnya dalam model kepemimpinan ini. Bruce Winston melalui tulisan Bass melihat bahwa yang didasarkan dari hati yang mau melayani ini secara sadar dilakukan pemimpin dengan tujuan bersama, khususnya dalam membantu orang lain. Selain itu dalam topik yang sama, Winston juga mengutip pernyataan Patterson, di mana kepemimpinan yang melayani menurutnya (1) menunjukkan kasih agape; (2) rendah hati; (3) altruistik/menolong orang lain tanpa pamrih; (4) visioner; (5) percaya; dan (6) mau melayani (Winston, 2018: 97).
Lebih lanjut, Winston menandaskan bahwa kepemimpin model ini memikirkan kesejahteraan organisasi dengan mengembangkan potensi yang ada. Sehingga kesejahteraan itu bukanlah ditujukan untuk sekelompok orang tertentu dan atas dasar kepentingan tertentu, melainkan atas dasar kepentingan organisasi, dalam hal ini kepentingan bersama (Winston, 2018: 10-11).
Gagasan-gagasan alkitabiah mengenai buah pemikiran Greenleaf ini sangat mungkin didasari pada apa yang dikatakan Yesus mengenai siapa yang terbesar di antara para murid. Apa yang ditekankan Yesus melalui ini yaitu siapa yang ingin menjadi yang terbesar harus merendahkan dirinya, dan yang merendahkan dirinya dialah yang terbesar di antara semuanya (Mat. 18:1-5; Mrk. 9:33-37; Luk. 9:46-48). Orang yang terkecil membutuhkan pelayanan dan pengorbanan yang besar untuk menjadi orang yang besar (Agosto, 2005: 46). Sehingga, fokusnya bukan mengejar posisi, melainkan pelayanan yang dilakukannya.
Lalu apa sumbangsih pemikiran Greenleaf melalui model kepemimpinan yang didiskusikannya selama puluhan tahun itu? Apa yang digagas oleh Greenleaf ini bukanlah semata-mata disematkan bagi pelayanan keimaman seperti uskup, pendeta, diaken dan lainnya, melainkan juga untuk setiap orang, khususnya para pemimpin agar dapat memimpin sebagai bentuk pelayanannya. Sehingga apa yang dilakukannya semata-mata bukan hanya untuk dirinya sendiri ataupun organisasi/komunitas yang dipimpinnya, melainkan juga untuk Tuhan (bnd. Kol. 3:17, 23). Baik pemimpin organisasi keagamaan maupun sekular melakukan perannya sebagai pemimpin sebagai pelayanan kepada Tuhan.
Bukankah setiap para pemimpin dilantik dengan bersumpah dengan Tuhan? Tentunya ini memperlihatkan kepada siapa ia memiliki tanggung jawab utama, yaitu tanggung jawab moral. Para pemimpin kini dapat merefleksikan dirinya melalui model kepemimpinan ini, apakah tetap memiliki jiwa sebagai pelayan atau malah sebaliknya.
Secara organisatoris, para pemimpin dapat mengembangkan potensi orang yang bekera bersamanya, bukan dengan memandang sebagai bawahan, melainkan mitra kerja yang bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Tindakan lainnya dapat dilakukan dengan memberi ruang bagi orang sebagai pengembangan potensi yang ada, salah satunya dengan pendelegasian kepemimpinan. Sehingga ada bentuk pengkaderan pemimpin dengan memberikan kesempatan untuk memimpin yang dimulai dari hal-hal terkecil. Melalui ini akan terpancar pemimpin yang beranjak dari hati untuk melayani.
Bibliografi
Agosto, Efrain, Servant leadership: Jesus & Paul, St. Louis, Mo: Chalice Press, 2005. Crowther, Steven, Biblical Servant Leadership: An Exploration of Leadership for the Contemporary Context, cet. 1 Cham: Springer International Publishing: Imprint: Palgrave Macmillan, 2018.
Greenleaf, Robert K., “Essentials of Servant-Leadership” dalam Focus on Leadership: Servant-Leadership for the Twenty-First Century, peny. Larry C. Spears dan Michele Lawrence, (New York: J. Wiley & Sons, 2002),
Spears, Larry C. “Tracing the Past, Present, and Future of Servant-Leadership” dalam Focus on Leadership: Servant-Leadership for the Twenty-First Century, peny. Larry C. Spears dan Michele Lawrence, New York: J. Wiley & Sons, 2002. Winston, Bruce E., Biblical Principles of Leading and Managing Employees, New York, NY: Springer Berlin Heidelberg, 2018.