Mendengungkan isu keramahtamahan di milenium ke-21 ini agaknya menjadi suatu hal yang menarik. Pasalnya, apa yang akrab disebut hospitalitas ini merupakan tindakan yang tidak dapat dihindarkan dalam setiap kehidupan manusia. Ada kalanya praktik seperti ini mendapat pujian, namun tak jarang pula mendapat lirikan sinis karena semakin tergerusnya jiwa keramahtamahan dalam diri setiap orang. Potret hospitalitas ini sederhananya digambarkan sebagai orang yang duduk dalam satu meja makan dan menikmati jamuan makan bersama tanpa kekurangan apapun. Senada dengan itu, Clarke dan Chen (2007:5-6) menyebutnya sebagai bentuk penyambutan secara sukacita, menjamu makan dan membuat tamu senang atas jamuannya. Namun bagi Lashley (2015:3) tidak cukup hanya sebatas jamuan makan saja, melainkan juga memperlakukan setiap orang dengan baik dan memberikan apa yang diperlukannya. Oleh karena itu tak heran bila praktik seperti ini diproyeksikan dalam perhotelan, perihal bagaimana menyambut tamu/orang asing dengan sebaik mungkin, memberikan apa yang dibutuhkan, meskipun tidak lepas dari nilai ekonomis sebagai target capaiannya (Morrison, 2002:166).
Orang Batak mengenal hospitalitas ini sebagai bentuk partamueon, dari kata tamue: jamu; menamu, manamuei: menjamu. Kemudian orang yang memperlakukan demikian disebut partamue, orang yang suka menjamu, lalu disebut selanjutnya sebagai hasuhuton, tuan rumah. Bila meneropong dari latar sosiologis-historis orang Batak, praktik seperti ini agaknya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum kekristenan mewarnai norma adat dan budaya Batak yang pada akhirnya sebagai bentuk enkulturasi adat dan Injil. Berkaitan tentang tamu dan menamu/menjamu, muatan gagasan filosofisnya dikatakan demikian:
Paramak naso ra balunon, parsangkalan naso ra mahiang, partataring naso ra mintop. Ungkapan (pandohan) ini selalu menggema dalam kehidupan orang Batak yang diwariskan secara turun-temurun. Buktinya saja, ketika ekspansi pekabaran Injil dari Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward, 1824, Singamangaraja menjamu kedua misionaris ini di desa yang bernama Parik Debata. Mereka bukan hanya dijamu baik oleh pemuka masyarakat dan spiritualitas orang Batak itu, melainkan juga diberangkatkan dengan sukacita dan diperlengkapi (Siburian, 2022:59-60). Hal sedemikian juga dilakukan oleh Raja Pontas Lumbantobing kepada I.L. Nommensen, meskipun menurut catatan sejarah, hal itu terjadi setelah raja tergiur akan konsep hamajuon yang diproklamasikan oleh Nommensen (Hutauruk, 2011:48).
Di tempat lain, Johannes Warneck mengakui bahwa praktik hospitalitas orang Batak dilakukan tanpa ada maksud lain. Ini dialaminya ketika hendak melewati daerah Toba. Warneck disambut dan diperlakukan dengan baik oleh orang-orang di sekitaran kampung di daerah itu (Hutauruk, 2013:124), meskipun pada akhirnya ia merasa janggal dengan kebiasaan orang Batak yang sulit untuk mengucapkan terima kasih (mauliate) yang sudah dibantunya mengobati hingga sembuh. (Hutauruk, 2018:349; 401). Dalam terang penjelasan itu, jiwa hospitalitas rupanya sudah tertanam dalam diri orang Batak, bahkan sejak sebelum menganut agama Kristen, yang menekankan hukum kasih, khususnya dalam hal ini kasih kepada sesama. Keramahtamahan itu terejawantah layaknya dengan memperlakukan orang lain secara terhormat. Dalam struktur sosial-kemasyarakatan orang Batak ini termaktub dalam salah satu gagasan dalam Dalihan na Tolu, yaitu somba marhulahula. Hal sedemikian ini terbawa dalam ajaran orang Batak yang memperlakukan orang lain/asing (khususnya yang tidak ada hubungan marga) layaknya hulahula, sebagai orang yang dihormati dengan sapaan tulang (bagi laki-laki), dan nantulang (bagi perempuan/istri tulang). Ini bukanlah tanpa alasan. Orang Batak memandang setiap orang sebagai anak dan putri raja (anak ni raja dohot boru ni raja), orang yang dihormati. Meskipun dalam posisi yang lain sebagaimana dalam Dalihan na Tolu, yaitu dongan tubu dan boru, bukan menunjukkan posisi yang lebih rendah, atau pula menunjukkan pihak superior dan inferior dalam struktur sosial-kemasyarakatan itu.
Aktualisasinya sederhana, dapat dilihat dari konsepsi ‘Batak na Raja’ yang digaungkan sekitaran daerah wilayah Danau Toba. Dilansir dari Sumutpos.id, bupati Toba menggaungkan ungkapan ini sebagai bentuk hospitalitas (partamueon), khususnya daerah tersebut yang dikenal sebagai daerah pariwisata yang akan membuat pengunjung, turis ataupun wisatawan menjadi semakin tertarik mengunjungi daerah Toba, disuguhi dengan panorama yang indah dan jamuan makan Batak yang khas. Meskipun juga ada nilai ekonomis yang menjadi perhatian sebagaimana hospitalitas dalam perhotelan pada umumnya, akan tetapi keramahtamahan ini merupakan sebagai identitas yang melekat dalam diri orang Batak. Merujuk atas merajut kasih di dalam persaudaraan, ini nyata dalam bentuk keramahtamahan di dalam diri orang Kristen Batak yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang memperlakukan orang lain dengan hormat, sopan dan kasih sebagaimana memperlakukan saudaranya sendiri.
Potongan lagu bertajuk Parhahamaranggion dalam Buku Ende no. 656:1 mengatakan: Rap sauduran hita be, marholong na tutu,
mardame, marlas roha ma di Jesus i tutu.
Lagu ini membekali orang Kristen, termasuk orang Batak, agar duduk bersama saling mengasihi, berdamai dan bergembira (sukacita) di dalam Yesus. Artinya, kasih Yesus di dalam hidup-Nya sebagai patron, yang mengasihi, menyambut dan memperlakukan orang lain dengan baik.
Akhirnya, sebagaimana diungkapkan pada bagian awal, hospitalitas memperlihatkan dua posisi: tuan rumah dan orang yang ditamui/jamu. Potret ini memperlihatkan adanya persekutuan yang indah dan penuh sukacita bila terealisasi dengan baik. Setiap stakeholder, baik tuan rumah maupun tamu dirajut di dalam kasih persaudaraan di dalam Kristus.(*).