Pematangsiantar !!! Kompakonline.com -Sebuah video yang memperlihatkan petugas Dinas Sosial, Perlindungan Perempuan, dan Anak (SP3A) Kota Pematangsiantar menyeret paksa seorang pemuda ke mobil dinas viral di media sosial.
Insiden ini terjadi pada Sabtu malam ( 14 / 06 / 2025 ), di depan sebuah toko roti ternama.
Meski kronologi awal tidak terekam jelas, tindakan petugas menuai kecaman publik.
Dalam video, pemuda yang diduga gelandangan dan pengemis (gepeng) tampak tak berdaya saat diseret oleh tiga hingga empat petugas berseragam.
Warga menyebut pemuda itu sempat melawan saat hendak diamankan, namun tidak ada rekaman yang memperlihatkan peristiwa secara utuh.
Hal tersebut disam
Alberto Nainggolan, mahasiswa Pematangsiantar, mengecam tindakan tersebut. “Penertiban seperti ini mempermalukan. Jika ada perlawanan, harusnya ada pendekatan dialogis yang manusiawi, bukan kekerasan,” ujarnya, Minggu ( 15 / 06 / 2025 ). Ia mempertanyakan pelatihan petugas SP3A dalam menangani kasus sosial dan menilai tindakan ini mencerminkan kegagalan pendekatan kemanusiaan.
Oleh karena nya harap Alberto agar kepala bidang yang menanganinya agar di evaluasi biar tidak terjadi hal serupa di Pematangsiantar ini.
Sebab dalam video tersebut seharusnya kepala bidang yang melakukan penertiban seharusnya melakukan pendekatan persuasif dan menyampaikan kepada Tim nya sehingga tidak terjadi seperti dalam video tersebut.
Harap Alberto sebagaimana yang di katakan Walikota Pematangsiantar kepada beberapa media telah memberikan sanksi kepada Tim petugas tersebut semoga sanksi yang diberikan adalah sanksi pergantian/evaluasi jabatan terhadap Tim yang menanganinya.
Alberto juga menyoroti pelanggaran Pasal 5 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang menekankan prinsip keadilan sosial, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, dan nondiskriminatif.
“Tugas Dinsos adalah melindungi dan memberdayakan, bukan mempermalukan”, tegasnya.
Alberto sekali lagi menyerukan evaluasi terhadap kerja kepala bidang Dinsos SP3A yang menangani kejadian tersebut. “Yang dibutuhkan kelompok marginal adalah pemulihan, bukan penghinaan”, tutupnya. ( JS ).