Pematangsiantar !!! Kompakonline.com -Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah, sejatinya bukan sekadar soal kalender politik. Melainkan soal bagaimana hukum dan tata aturan beroperasi demi kepentingan rakyat.
“Sejak Pemilu 2019, kita melihat bagaimana “pemilu lima kotak”-Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, disatukan dalam satu hari. Hasilnya? Terdapat Penyelenggara tumbang karena kelelahan, pemilih kebingungan, dan isu lokal tenggelam oleh hiruk-pikuk nasional. Pemilu bukan lagi pesta rakyat, melainkan maraton melelahkan” sebut Roy Marsen Simarmata MH Komisioner KPU Siantar dalam statement tertulisnya, Kamis ( 21 / 08 / 2025 ).
Diuraikannya, MK kemudian hadir lewat Putusan No. 135/PUU-XXII/2024 yang diucapkan 26 Juni 2025. Pesannya jelas mulai 2029, pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dipisah dari pemilu daerah (kepala daerah dan DPRD). Namun, MK tidak memberi angka pasti soal jeda itu tugas DPR dan pemerintah untuk mengaturnya lewat revisi undang-undang.
Saat ini, ada dua undang-undang besar UU No. 7/2017 tentang Pemilu, dan UU No. 10/2016 tentang Pilkada. UU Pemilu masih menyatukan DPRD dengan pemilu nasional, sementara UU Pilkada hanya mengurus kepala daerah. Dengan putusan MK, jelas ada “kontradiksi” aturan.
“Kalau tidak segera direvisi, kita bisa menghadapi situasi yang ambigu, DPRD masih ikut pemilu nasional (karena bunyi UU 7/2017), padahal MK bilang harus dipisah ke pemilu daerah. Di sisi lain, kepala daerah diatur UU Pilkada dengan jadwal berbeda. Ini ibarat dua kereta di jalur yang sama tapi arahnya bertabrakan, dan penumpangnya tak lain adalah rakyat sendiri”, terangnya.
Dalam hal ini, KPU sudah mengusulkan jeda sekitar dua tahun antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Bukan tanpa alasan. Penyelenggara membutuhkan waktu minimal 20 bulan hanya untuk menyiapkan pilkada, mulai dari data pemilih hingga logistik. Kalau jadwalnya terlalu rapat, tahapannya saling tindih.
Bagi rakyat, jeda ini penting agar suara mereka tidak “diobral” sekaligus. Pada pemilu nasional, rakyat bisa fokus menilai arah bangsa, siapa presiden yang pantas, partai mana yang layak dipercaya di Senayan. Dua tahun kemudian, rakyat kembali menilai atau mengevaluasi calon kepala daerah dan DPRD yang mampu mengurus jalan, sekolah, hingga layanan publik.
Bagaimana mungkin rakyat bisa menilai Presiden, DPR, dan calon bupati sekaligus dalam satu hari, sementara isu dan kewenangan mereka sama sekali berbeda? Dengan jeda, isu tidak saling menenggelamkan. Pemilu nasional bicara arah negara, pemilu daerah bicara kebutuhan sehari – hari.
SETIDAKNYA ADA TIGA PEKERJAAN RUMAH BESAR PASCA PUTUSAN MK
Pertama, revisi UU Pemilu dan UU Pilkada sekaligus. Jangan hanya tambal sulam. DPRD harus dipindahkan ke pemilu daerah, kepala daerah tetap lewat pilkada, sementara Presiden, DPR, dan DPD di pemilu nasional. Dengan begitu, tidak ada lagi silang jalur yang membingungkan rakyat.
Kedua, tetapkan interval yang manusiawi. Jeda dua sampai dua setengah tahun adalah pilihan paling masuk akal.
Ini cukup memberi ruang teknis bagi penyelenggara, tapi tidak terlalu lama sehingga rakyat kehilangan momentum. Aturan juga harus jelas soal masa jabatan transisi, apakah diperpanjang atau dipotong, dan siapa yang mengisi jika ada kekosongan. Jangan sampai rakyat dirugikan karena kursi kepala daerah lama kosong dan diganti penjabat yang tidak punya legitimasi langsung dari pemilih.
Ketiga, gunakan harmonisasi aturan untuk membereskan penyakit lama. Pemilu di Indonesia terkenal mahal. Mahar partai, biaya kampanye, hingga politik uang merajalela.
Jika pemisahan pemilu hanya memindah beban biaya ke dua siklus, rakyat tidak mendapat apa – apa. Karena itu, revisi UU harus sekalian memasukkan aturan pembatasan biaya kampanye, transparansi dana politik, dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik politik uang.
Sering kali rakyat melihat perubahan aturan pemilu hanya sebagai urusan elite politik. Padahal, dampaknya langsung ke kehidupan sehari-hari. Dengan jadwal yang harmonis, rakyat akan Lebih mudah memahami isu dan program calon.
Tidak terbebani lima surat suara sekaligus. Lebih punya waktu untuk menilai rekam jejak kandidat.
Mendapat pelayanan publik lebih baik karena kepala daerah tidak sibuk kampanye berbarengan dengan pemilu nasional. Inilah substansi yang harus jadi prioritas bukan sekadar mengubah tanggal di kalender, tapi memastikan rakyat lebih berdaulat dalam memilih.
Hukum yang baik adalah hukum yang jernih, sederhana, dan berpihak pada rakyat. Putusan MK telah memberi arah, tapi tanpa revisi undang-undang yang harmonis, rakyat hanya akan menuai kebingungan.
” Pemisahan pemilu nasional dan daerah bukan hanya soal efisiensi, melainkan soal keadilan demokrasi. Dengan jadwal yang tepat, aturan yang jelas, dan regulasi yang berpihak pada rakyat, pemilu bisa kembali menjadi pesta demokrasi, bukan beban atau ajang pelelangan kekuasaan” tandasnya. ( JS )
: